Contoh Cerpen Tema Lingkungan Hidup

Cerpen berjudul Macan

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan.

Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras.

”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”

”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”

”Berarti mangsanya itu kamu!”

Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar, setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.

Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.

Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil sudah ditentukan.

Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.

”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang.

Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya.

Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan.

Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.

Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan.

Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apa pun karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.

Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.

Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan rapalan.

Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.

Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya.

Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-mana.

Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa.

Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.

”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”

Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.

”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”

”Masih ada betinanya….”

”…dan masih ada anaknya.”

Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar- mandir dengan gelisah.

Ia masih berada di sana ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.

”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”

”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”

Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman.

Kini dalam kelam berhujan, ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa goa yang ditemukannya sudah kosong.

”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….”

Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa membalas dendam.

”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.

Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu.

Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.

Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.

”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu.

Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti.

”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu.

Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.

Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya.

Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.

Namun, kali ini sudah terlambat.***

Cerpen berjudul Sayup Tifa Mengepung Humia

Sayup Tifa Mengepung Humia

Kelak setelah dimiliki Bone, Waita akan menempati humia baru. Tidak lagi bersama Mama Aname. Waita akan menjadi mama baru di humia barunya, seperti seekor cendrawasih membuat sarang baru di dahang laingliu. Bone menegakkan humia dengan tiang utama dari batang bohon soang yang berbulan-bulan direndam dalam aliran sungai warsor. Deras sungai warsor akan menguatkan batang soang. Waita akan segera dinikahkan di depan para tetua dan dukun Hobone, kemudian menuju Soroani, dusun Bone.

Mama Aname telah menerima banyak mas kawin dan harta adat dari Bone; lima ekor wam, tiga tali ijebasik, lima buah wanggokme yang harus diasah oleh mempelai laki-laki, dan tiga ikat ebekanem. Mas kawin dan harta adat begitu besar dirasa sepadan dengan Waita, penari hunuke paling sintal di Hobone. Betisnya sepenuh paruh kasuari, lambang kebanggaan orang-orang Hobone. Dadanya ranum, kencang, dan tidak terlalu besar. Yang lebih menjadikan Waita harta berharga adalah beberapa hari sebelum Bone melamar, Waita melakukan upacara muruwal bagi perempuan Hobone. Upacara pengenalan tugas perempuan, setelah darah kali pertama menetes dari selangkangan. Darah itu kelak akan menandakan ketangguhan perempuan Hobone. Yang siap membahagiakan suami, memelihara babi dan kebun sagu, serta melahirkan banyak anak lelaki.

Rangkaian Peristiwa: “Mama, apa perempuan tak boleh menikah dengan lelaki yang dicintai?” tanya Waita kepada Mama Aname yang sedang mewarnai tubuh Waita. Aroma babi bakar masuk ke dalam humia mereka.

“Tentu boleh, Waita.”

“Apa Waita bisa menolak pernikahan bila tidak suka dengan calon suami?”

Mama Aname terdiam. Tangannya yang belepotan cairan kapur dan jelaga pembakaan kayu kasuari berhenti. “Kamu sudah menjadi yomine, Waita.”

Waita diharapkan mampu meredam konflik antara Hobone dan Soroani. Bibit permusuhan sudah lama terperam. Hanya lantaran dua dusun itu berbeda nasib. Hobone yang berada di soli, daerah lebih tinggi dan lebih subur. Tidak pernah merasakan kelaparan, betatas dan ubi tersedia sepanjang tahun. Adapun Soroani berada lebih bawah, olobok, yang tidak sesubur Hobone.

Permusuhan itu kembali tumbuh, ketika suatu hari seorang perempuan Soroani tertimpa batang sagu yang dirobohkan seorang laki-laki Hobone. Kepalanya pecah dan mati di tempat. Padahal sudah terpasang seiye, tanda larangan untuk melewati lahan orang Hobone karena sedang masa penebangan pohon sagu. Kelalaian perempuan itu membangkitkan amarah yang terperam di dada-dada orang Soroani. Perang tak terhindarkan. Terjadilah saling serang. Busur dan panah beracun, kapak, dan parang beterbangan di tengah rimbun. Setiap hari banyak lelaki Hobone dan Soroani mati. Banyak nyawa terbawa ke langit, dimuliakan, mati di medan perang bagi laki-laki adalah kebanggaan.

“Waita, Bone sudah menghendakimu. Ini untuk mereda peperangan dan sudah jadi kesepakatan para dukun di rumah yowi.”

“Apa Waita harus ditukar dengan perdamaian?”

“Lebih baik membuat persaudaraan daripada mencipta permusuhan, Waita. Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende. Ingat itu, Waita!” Mama Aname bersikeras.

“Mama, tapi Waita tidak pernah tahu apa yang perempuan kerjakan di Soroani.”

“Suamimu dan Mama Ibo akan mengajarimu menjadi perempuan Soroani.”

Mata Waita mengerjap-ngerjap. Baru beberapa hari lalu dia merasakan perayaan menjadi wanita seutuhnya. Waita masih bergantung pada Mama Aname dan sekarang dia harus bersiap untuk dibawa Bone ke humia baru di Soroani. Seperti seekor burung bermigrasi dari sarang satu ke sarang baru, bila telur-telurnya sudah menetaskan riuh kasuari baru.

Setiap memikirkan aneka hal baru yang akan mengubahnya, ada keganjilan yang tumbuh di kepalanya. Waita mengingat bagaimana sosok Ewoyop. Sosok lelaki Hobone yang memainkan tifa begitu merdu.

Kayu-kayu kasuari dibelah dengan kapak. Kayu-kayu itu akan dibakar dan menghasilkan bara api konstan. Anak-anak kecil laki-laki perempuan menyunggi bebatuan yang diambil dari sungai. Beberapa laki-laki memanggul babi di pundak. Para mama membawa betatas dan buah pandan merah di dalam tas hakone yang dikaitkan di kepala mereka. Beberapa masih digelatuti balita di bagian dada dan menggandeng seorang lagi. Semua wajah begitu ceria.

Tetua adat dan para dukun di rumah yowimemutuskan akan mengadakan upacara persembahan untuk alam di tengah Hobone, di sebuah tanah lapang yang bersih dari semak belukar. Beberapa hari lalu longsor mengubur empat desa di lereng gunung. Hobone diselamatkan. Sebagai ucap syukur upacara persembahan digelar, banyak tamu diundang, tari-tarian dan musik dipentaskan.

“Waita, kau menari hari ini?” tanya seorang mama, bibirnya merah karena sirih. Seorang bayi, mungkin lima bulan, tidak hendak lepas dari puting kanannya.

“Ya, Mama,” jawab Waita. Mukanya sedang dirias dengan dominan hitam-putih.

Keriuhan merasuki sela-sela pohon sagu sekitar Hobone. Lubang untuk tungku sudah selesai digali. Beberapa laki-laki gegas membuat api, dari seutas sumbu yang digesek dengan batu. Kayu kasuari kering diletakkan di atasnya, lalu batu dipanaskan hingga berganti warna putih. Setelah itu batu dipindahkan dengan batang kayu yang dibelah tengah menjadi penjempit ke dalam tungku. Di sanalah babi, betatas, umbi-umbian, dan aneka sayur siap dibakar.

Laki-laki menunggu di sekeliling tungku sambil mengisap pali, sebatang koteka mengacung hingga dada. Muncul gemerincing bunyi akibat gesekan ujung koteka dengan kalung para lelaki.

Waita bersiap menari. Para pemusik sudah siap di ujung perhelatan. Di saat itulah Waita menemukan sosok lelaki yang begitu damai memetik tifa. Ewoyop tidak ubahnya lelaki Hobone lain, tapi tatapan matanya menyiratkan binar berbeda. Waita harus menari. Diiringi musik Ewoyop dan bebunyian dari mulut lelaki Hobone. Waita mengagumi bagaimana Ewoyop memukul-mukul tifa secara konstan. Terutama betis Ewoyop tampak begitu kukuh saat melompat-lompat mengatur tempo nyanyian para mama dan gerakan penari hukune.

Alam Hobone mengajarkan mata laki-laki bisa menembus segala hal, setajam ujung tombak saat berburu rusa di tengah hutan. Adapun mata perempuan harus merunduk tak berani saling tumpu. Mata perempuan hanya untuk mengurus betatas, ladang sagu, pakan babi, dan menyusui para bayi. Tidak lebih dari itu. diam-diam Waita menerawangkan mata hingga dua mata Ewoyop begitu berani merasuk ke tubuhnya.

Sebagaimana kehidupan lereng gunung mengepung Hobone yang tumbuh tanpa komando, ada perasaan naluriah manusia yang diam-diam tumbuh di dada Waita. Isyarat itu makin kentara ketika tiba-tiba Ewoyop mengirim seikat betatas dan ubi jalar kepada Waita. Di Hobone jarang terlihat lelaki dan perempuan berbicara. Mereka ragu. Namun keduanya meyakini ada hal istimewa yang mereka rahasiakan. Hanya Waita dan Ewoyop yang tahu, yang mendekap begitu rahasia begitu pribadi.

Namun perempuan Hobone tak punya kuasa atas tubuhnya. Tetua adat dan para dukun rumah yowi memutuskan segalanya. Bahwa Waita akan dinikahkan dengan Bone untuk meredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.

“Cantik sekali kamu, Waita.”

Waita membalas dengan senyuman hambar. Aneka riasan dan perhiasan dari kerang tertempel di tubuhnya. Bulu cenderawasih dan kasuari tergantung di kepala. Sejak pagi Waita sudah melakukan prosesi adat. Mandi di sungai untuk melunturkan semua kotoran. Kulit hitamnya mengilat tertimpa sinar matahari. Halus. Bibirnya merah, perasan buah pandan merah yang mengilatkan dan meronakan bibir.

“Mama, apa wanita tidak bisa memilih di humia siapa akan tinggal?”

“Waita, tidakkah kamu tahu tetua dan dukun rumah yowi sudah memutuskan semua? Semua harta adat sudah diterima. Dan kamu bukan hanya menjadi istri Bone. Kamu adalah peredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.” Waita menghela napas. Matanya tak hendak berkaca, tapi ada sesuatu yang berguguran di dadanya.

“Katanya wanita dusun bawah harus bekerja lebih keras daripada wanita dusun atas?”

Waita menggeleng, ingin menarik semua ucapan yang mendadak keluar.

“Waita, semua penghuni humia harus patuh pada suami.”

Sebelum upacara pernikahan dihelat, aneka makanan disiapkan. Tungku untuk bakar batu, babi dan betatas tidak tertinggal. Termasuk aneka musik tifa dan penari. Waita yakin Ewoyop termasuk di dalamnya. Mantra dan dendang gembira disenandungkan oleh tetua adat dan dukun rumah yowi. Selepas upacara, Waita diboyong ke humia Bone di Soroani. ***

Waita menatap atap humia. Dia tidur telentang lebih dahulu di atas lambaran tikar pandan di lantai dua. Pintu yang sempit sesekali membawa masuk hawa dingin, angin gunung masuk dan menggigilkan tubuh Waita. Di lantai satu api unggun kecil berusaha menghangatkan humia.

Bone berdeham. Kemudian unggung dipadamkan. Waita mulai gemetar. Bone naik melalui tangga dan mendekati Waita. Humia gelap, tapi Waita bisa merasakan embusan napas Bone beraroma pali. Bone merengkuh tubuh Waita. Bone menciumi tubuh Waita. Tapi semua ditanggapi dingin. Bone mengunci betis Waita. Bone hendak menyenangkan diri atas tubuh Waita. Anak panah Bone hendak dilepas ketika muncul suara halus terbawa angin masuk ke humia.

“Siapa yang memainkan tifa malam-malam begini?” ***

Catatan: Humia: nama lain rumah adat Papua wam: babi ijebasik: kulit kerang wanggokme: kapak batu ebekanem: tembakau hunuke: tarian kebahagiaan Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende: jika semua orang dianggap saudara, hidup kita akan damai yomine: pendamai dua perkampungan yang bermusuhan rumah yowi: rumah inti, tempat berkumpul para dukun dan tetua adat pali: rokok tradisional

Oiya, buat kamu yang mau baca cerpen lebih banyak, boleh banget klik link ini ya!

Baca Juga: Rubrik Dunia Kata – Kumpulan Cerpen Ruangguru

Nah, dengan melihat berbagai contoh cerpen yang menarik barusan, apakah kamu menjadi lebih tahu mengenai pengertian dan struktur cerpen? Kamu juga bisa mulai mencoba menganalisis struktur dari cerpen yang kamu baca sehari-hari, lho. Buat yang belum paham, yuk belajar lewat video beranimasi di ruangbelajar! Selain video belajar beranimasi, ada juga soal latihan beserta pembahasannya dan rangkuman.

Catatan Pringadi [daring]. Tautan: https://catatanpringadi.com/category/cerpen/ (Diakses: 19 September 2023)

Kliping Sastra Indonesia [daring]. Tautan: https://klipingsastra.wordpress.com/ (Diakses: 19 September 2023)

Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak: Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa?page=all pada 7 Oktober 2022.

Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari https://www.narakata.id/2022/01/cerpen-suatu-sisi-dalam-hidupmu-karya.html pada 7 Oktober 2022.

Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/08674606/lukisan-kasih-sayang?page=all pada 7 Oktober 2022.

Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari http://cerpenmu.com/cerpen-anak/kancil-dan-buaya.html pada 22 November 2022.

Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari https://kumpulantulisan25.blogspot.com/2014/12/cerpen-karya-anak-vara.html pada 22 November 2022.

brgfx. Free vector cartoon character of a boy playing guitar with melody symbols [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/cartoon-character-boy-playing-guitar-with-melody-symbols_18616513.htm#page=2&query=boy%20playing%20a%20guitar&position=9&from_view=search&track=ais (Diakses: 19 September 2023)

pch.vektor. People Reading Books in Library [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/people-reading-books-library_9650640.htm#query=reading%20a%20book&position=3&from_view=search&track=ais (Diakses: 18 September 2023)

Artikel ini pertama kali ditulis oleh Shabrina Alfari, kemudian diperbarui oleh Laras Sekar Seruni.

Contoh Slogan Tentang Lingkungan Hidup

KOBA – Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten Bangka Tengah, bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (D...

KOBA – Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten Bangka Tengah, bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (D...

Cerpen berjudul Sesaat Sebelum Berangkat

Sesaat Sebelum Berangkat

Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.

Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”

”Dan kamu tidak memberitahuku.”

”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”

”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”

Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.

Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”

”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”

”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”

Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”

Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.

”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.

”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”

”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi kamu bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”

Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”

”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”

”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”

Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, kamu menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”

”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”

”Apa yang dia katakan?”

”Dia ingin pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”

”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia ingin kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”

”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”

”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia masih kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”

”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”

”Aku tidak butuh informasi itu.”

Kali ini, darahku benar-benar mendidih.

”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.

”Kamu langsung pulang atau menginap?”

”Aku masih ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.

Ia bangkit, lalu melangkah pergi.

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali berjalan menuju pintu.

Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”

Mita melangkah pergi keluar.

Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.

Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.

Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***

Pengelolaan limbah untuk di daur ulang

Contoh tema seminar lingkungan hidup kali ini agaknya merupakan salah satu isu yang selalu menjadi topik hangat untuk di perbincangkan dan telah menjadi sebuah masalah jangka panjang, apalagi jika bukan tentang pengelolaan limbah yang kian hari rasanya semakin menumpuk jumlahnya.

Oleh sebab itu, agaknya mengangkat tema seminar tentang pengelolaan limbah untuk di daur ulang merupakan pilihan paling tepat untuk dilakukan. Yang mana dalam pembahasan utamanya, anda bukan hanya dapat menjelaskan tentang bahayanya limbah limbah sampah tersebut, namun juga sekaligus mengajak para peserta untuk bersama sama melakukan usaha daur ulang dan mempraktikkannya secara langsung.

Cerpen berjudul Tarom

Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.

Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: ”Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”

Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.

Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang restoran.

”Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”

Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.

”Buku hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”

Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”

Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.”

Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.

Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.

Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus.Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.

”Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”

Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu ”Imagine” The Beatles, ”You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”

Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.

Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot.

Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: ”Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa.

Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda harus menghargai yang tua,” katanya bergurau.

Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.

”Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.”

Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.

Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.

Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri.

Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II.

Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.

Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India.

Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.

Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.

Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.

Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri.

Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.

Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.

Gertrude menunduk, lalu berkata: ”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”

Pikiran saya melayang ke ibu saya. ***

Baca Juga: Bagaimana Cara Membedakan Fakta dan Opini dalam Teks Iklan? | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek

Obat Bosan dari Nenek

Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika.

Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni.

“Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah.

“Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan.

“Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar Ibu dan menelepon Nenek.

Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu ‘kan penyakit yang paling gampang diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!”

“Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana ‘kan selalu ramai. Di sini sepi!”

“Selalu sepi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!”

“Baiklah, cepat datang, ya Nek!” kata Lili dengan gembira dan meletakkan gagang telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat bosan itu.

Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan.

Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat bosan itu seperti apa sih?” Mbok Nah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

“Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu. Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah.

Sekarang Lili yang tertawa. “Kalau saya sih tambah bosan mendengar kaset lagu dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu enak didengar. Sesudah itu bosan saya mendengarnya!” kata Lili.

“Ya, sudah. Kesukaan orang ‘kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat bosan yang bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya.

“Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa.

“Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang membaca, kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca buku yang ini!” kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar.

“Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini cuma 24 halaman. Tiap halaman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, Iho! Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!” Nenek memberi semangat.

Lili mulai membaca. Eh, ternyata menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus. Sebetulnya buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai pengetahuan. Misalnya kamu mau tahu asal minyak tanah, atau cara kerja tukang pos, atau tentang menanam bunga atau apa saja, semua ada bukunya!”

“lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti membuat perahu, burung. Lili mau baca buku itu kalau ada!” kata Lili.

“Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa bosan. Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!” kata Nenek.

“Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili.

“Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek.

“Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang.

“Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya kamu rajin membaca. Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang banyak teksnya!” kafa Nenek.

Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Lili. Sampai akhirnya, bila Lili sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita.

Lili sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau pengetahuan yang dibacanya. Yang penting juga, Lili sudah mendapat obat bosan yang ampuh dari Nenek, hingga seumur hidup dia akan bebas dari penyakit bosan.

Baca Juga: Apa Saja Unsur-Unsur Ekstrinsik Cerpen? | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang

Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan yang setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan.

Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu.

Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia.

Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu coklat. Siapa pun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak.

“Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga.

“Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal,” ujar Mumu.

Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya ia tak sadar bahwa ia tepat berada di tepi rawa.

Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya.

Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, “Apa-apaan kamu ini, Mu. Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!”

“Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu.

Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu.

“Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!” seru Pak  Saiful dengan wajah merah padam.

Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga.

Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu.

Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada sepasang mata mengawasinya.

“Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… ia terperosok ke dalam rawa.

“Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa.

“Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan.

Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik.

“Terima kasih, Mumu, kamu menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa waktu itu. Saya kuatir Bapak akan jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!” kata Mumu.

Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan.

Cerpen berjudul Kuda Terbang Maria Pinto

Kuda Terbang Maria Pinto

Oleh: Linda Christanty

Menjelang senja, Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”

Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal menemani perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.

Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan akan gadis itu.

Kisah tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke pulau ini, “Makanya kita sulit menang, karena para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh! Menyebalkan.”

Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.

“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota kami satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah temannya, tersenyum pahit.

Kini Yosef terkurung dalam kereta yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa kantuknya telah lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya duduk perempuan yang asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar kisah-kisahnya.

“Tapi saya tidak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tidak akan …. Dia sangat sakti. Percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.

Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu mempercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasat mata. Namun ia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.

Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.

“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan sekali dia. Tapi ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.

Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.

“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.

Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga!

“Kami dari keluarga petani miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah. Menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan.” Kali ini ia pandangi wajah teman duduknya, yang telah kembali menekuri buku.

Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.

Kereta terus menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah, dan perkampungan. Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.

“Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekad juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin …,” tuturnya, lirih.

Ia meraih sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut flanel yang seragam, biru tua. Dengkur halus terkadang merayap dari kursi-kursi yang berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.

“Ya, mungkin tugas saya harus ditunda. Lagipula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan malas. Orang yang sedang bermasalah biasanya tidak diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol.”

Tiba-tiba angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya yang tajam atau membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.

“Coba, coba rasakan angin ini,” bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.

“Ini bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin,” tukas perempuan itu.

“Bila kita berada di posisi yang salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan kita diketahui.”

Ia mulai cemas. Ia selalu waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.

Suatu malam Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota gerombolan. Ia berjalan sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan terdekat.

Menjelang tengah malam, ia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang, bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri percakapan yang barangkali terjalin antara penghuni gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik semakin nyaring.

Yosef memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil bersiap menarik pelatuk bila bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan yang hadir membuat jantungnya berderak.

Seorang gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Ia mendekat, mengarahkan senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai mengembang pada pori-pori tubuhnya yang lelah. Nyala pemantik membuat Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut dan membisu. Sang panglima dan prajurit kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit perlahan, menggerakkan tangan ke udara… dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi cahaya dalam gubuk, menari dan berpesta.

Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu semula menyerupai patung lilin para santa, lalu berangsur bening dan transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis itu dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan sepasang bola mata yang menonjol keluar serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.

Keesokan hari saat embun masih melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia sudah tersandar di muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran. Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira ia hilang ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.

Tak ada jejak-jejak larsaku di tanah yang lunak, pikirnya. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang kayu setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis itu?

Ia mulai tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.… Yosef terus mengucap kata-kata itu seperti mantra. Perutnya yang kurus terguncang hebat, terasa terpilin-pilin oleh rasa lucu tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lalu mendesak komandan pasukan memulangkannya ke zona tenang untuk istirahat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada zona yang benar-benar tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya berlangsung cepat, tapi ia dialihtugaskan ke bagian lain.

“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.

Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.

Kereta sebentar lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan rambut, blus, atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan pria mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.

“Apakah mau menemani saya malam ini?” Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.

“Saya ingin menyelesaikan novel ini.”

“Saya ingin berjalan-jalan, menenangkan pikiran.”

“Semoga Anda bisa bersenang-senang.”

Mereka berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.

Suatu siang di bulan cerah. Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini ia mengintai seseorang. Ia bersembunyi di lantai paling atas, mengawasi sekeliling dengan teropong, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lalu menetapkan posisi membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh atau amis darah luka yang mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan mati adalah bait-bait pantun yang berdekatan, sampiran dan isi yang saling terikat. Ia siap menghadapi keduanya.

Langit biru muda terlihat sepi. Yosef memasang peredam suara pada laras senjata. Matahari bersinar lunak. Ia kembali mengintai sasarannya. Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Ia melihat targetnya bergerak. Matanya kini terfokus pada titik sasaran. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Perempuan itu sekarang berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.

Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.

Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. ***

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Ekstrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11

Cerpen berjudul Kado Istimewa

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.

Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta.

Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi.

Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus.

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian.

“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.

“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.

“Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa, kok, mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?”

“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”

“Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar omongan kiri kanan.”

“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Kegemaran yang Langka

Kegemaran yang Langka

Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa menghabiskan setengah lusin kaki ayam.

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.

Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa.

“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam.

“Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita.

“Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes.

“Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan.

Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.

“Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata.

“Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.

Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam.

Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan kegemarannya itu?

Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.”

“Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli.

“Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani.

“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine.

Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.

Mimi menggelengkan kepalanya.

“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!”

Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!”

“Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.

“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.

“Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir.

“Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!” kata Ibu.

Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi, bukan?

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11